Di sebuah masa dikisahkan ada 2 orang bertetangga yang hidup di
pinggiran sungai kecil yang deras. Awalnya mereka hidup rukun
berdampingan meskipun dipisahkan oleh sungai di antara mereka. Namun,
kehidupan mereka perlahan berubah menjadi saling benci yang diawali oleh
perubahan sifat salah satu dari mereka. Mulanya mereka masih saling
bertegur sapa atau sekedar saling senyum tiap harinya, meskipun
masing-masing mereka tidak pernah saling berkunjung secara fisik karena
terpisah oleh sungai. Ketidakharmonisan mulai muncul ketika salah satu
dari mereka membangun sebuah pagar agak tinggi yang tentunya menghalangi
si tetangga untuk melihat rumah si tetangganya yang berada di seberang
sungai tersebut. Dari sini perlahan mereka mulai jarang bertegur sapa
karena terhalangi oleh tembok tersebut. Masing-masing mulai hidup dengan
dunianya. Dan lama-kelamaan kebencian dan sifat saling iri hati dan
ingin saling bersaing mulai tumbuh di hati mereka. Suatu hari
dipanggilah seorang tukang bangunan oleh si tetangga yang masih belum
memagari rumahnya tersebut. Tukang bangunan tersebut dipanggil tidak
lain agar dapat membuatkan pagar yang sama dengan si tetangga yang ada
di seberang sungai sana. Si tukang bangunan sebenarnya bersedia
membuatkan tembok namun dia melihat gelagat masalah yang terjadi di
antara sepasang tetangga ini. Dia berfikir bahwa dengan membuatkan
tembok yang sama tentunya akan malah memperparah ketidakharmonisan di
antara mereka. Maka diputuskanlah olehnya untuk membuatkan sebuah
jembatan sederhana dari kayu di atas sungai kecil tersebut agar sepasang
tetangga itu dapat saling berkunjung dan mencairkan kebekuan hubungan
di antara keduanya. Setelah jembatan usai dibuat, si penyewa tukang
bangunan tersebut terperangah bukan main. Dia mulai marah karena hal ini
tidak sesuai dengan keinginannya yang bermaksud agar dibuatkan pagar
tembok di rumahnya dan bukan malah dibuatkan jembatan. Si tukang
kemudian menjelaskan perihal semua ini. Bahwa sebenarnya akar semua
masalah di antara sepasang tetangga tersebut adalah tidak adanya atau
terputusnya “jembatan” silaturrahim di antara mereka. Maka dengan
membangun sebuah jembatan sederhana ini diharapkan dapat menyambungkan
kembali “jembatan” itu. Dan “pagar” yang menghalangi mereka selama ini
harus segera dirobohkan. Setelah mendengar nasihat bijak itu,
tersadarlah dia. Dan hal pertama yang segera dia lakukan adalah
menyeberangi sungai di atas jembatan menuju ke kediaman tetangganya yang
berada di seberang sungai. Dan setelah mereka bertemu dan saling
berjabat tangan dan berpelukan hangat, mereka mulai berbicara dari hati
ke hati tentang masalah mereka selama ini. Singkat kisah, keadaan mereka
mulai membaik kembali berkat “jembatan” itu. Dan si tukang bangunan
kemudian menawarkan kepada mereka berdua untuk menyewa dirinya guna
merobohkan pagar tembok yang selama ini menghalangi mereka. Setelah
disetujui, pagar itupun dirobohkan yang berbarengan pula dengan robohnya
“pagar” penghalang di antara hubungan sepasang tetangga tersebut.
Kawan, bukankah memang lebih baik membangun “jembatan” di antara kita
sebagai sesama manusia yang saling bertetangga, bersahabat dan
bermitra. Dan bukan malah membangun “pagar” dan tembok-tembok penghalang
yang dapat membunuh “ke-manusia-an” kita yang telah dikodratkan sebagai
Makhluk Sosial. Dan yakinlah bahwa dengan membangun sebuah “jembatan”
maka perlahan segala masalah dalam hidup di dunia ini akan dapat
dicarikan jalan keluarnya. Karena dengan adanya “jembatan” Insyaallah
tak akan ada lagi saling perang, benci, curiga dan hal-hal anti kebaikan
lainnya. Sekarang pilihan berada di tangan kita. Ingin membangun
Jembatan atau Pagar Tembok???
Wallahu A’lam.
kog kayak filmnya gnomeo ya? hahhahaahahha
BalasHapus